Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan
Lembaga negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpelihara keamanan negara.
Sebelumnya, kami telah membahas tentang TNI pada Era Kepresidenan Soekarno. Kali ini, kita akan membahas tentang Polri pada Era Kepresidenan Soekarno.
Periode 1945-1950
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada
Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan
polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi, kepolisian
menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas 1 (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin,
Komandan Polisi di Surabaya, pada 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan
Polisi Republik Indonesia sebagai langkah awal yang dilakukan selain mengadakan
pembersihan dan pelucutan senjata terhadap Jepang yang kalah perang, juga
membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat maupun satuan-satuan
bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang yang panjang.
Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan
Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto
Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan
Kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara yang hanya
bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan masalah operasional
ditanggung Jaksa Agung.
Pada 1 Juli 1946, dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946
No. 11/S.D. Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada
Perdana Menteri. Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai
Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Di samping sebagai penegak hukum, Polri juga ikut bertempur
di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya combatant yang tidak
tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade
(Brimob), sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti
pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat,
penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan banyak lainnya.
Pada masa kabinet presidensial, pada 4 Februari 1948
dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin
langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana
menteri/wakil perdana Menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S.
Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian seluruh wilayah RI. Pada 22
Desember 1948, Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin
Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP
Umar Said.
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda
dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai
Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala
Kepolisian Negara RI yang berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 Tahun 1950 dinyatakan bahwa
Jawatan Kepolisian RIS dalam politik polisional berada di bawah Perdana Menteri
dengan perantaraan Jaksa Agung. Sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
diurus oleh menteri dalam negeri.
RIS hanya mampu bertahan beberapa bulan. Sebelum dibentuk
Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap
Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian
disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia.
Periode 1950-1959
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950
dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala
Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada
perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum
ada kantor, digunakanlah kantor Hoofd van Dienst der Algemene Politie di
Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor
sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas
Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian
sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana
Negara.
Masa Orde Lama
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke
UUD 1945, namun pelaksanaannya banyak yang menyimpang. Jabatan Perdana Menteri
diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri
Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959 pada 10 Juli di mana Kepala
Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959, Kapolri
juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada 26
Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan
sebutan Kepala Kepolisian Negara yang memimpin Departemen Kepolisian.
Ketika Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang
terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan
keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. 15 Desember
1959, R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda
Kepolisian.
19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok Kepolisian No.
13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur
ABRI yang sama sederajat dengan TNI.
Dalam pembahasan ini, kami berharap bisa menambah wawasan
Anda tentang Polri pada Era Kepresidenan Soekarno. Terima kasih telah
meluangkan waktu Anda.
Salam Hangat,